Catatan redaksi
PEDAMARAN | dialograkyat.com – Memasuki dua tahun lebih pemerintahannya, Kepala Desa (Kades) Desa Pedamaran VI, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Makmun Murod, sudah mulai diterjang badai kritik hingga demonstrasi. Teriakan agar dirinya mundur dari jabatannya memekik kencang diteriakkan oleh masyarakatnya. Padahal, seusai dilantik di ruang rapat Bende Seguguk II Pemerintah Kabupaten (Pemkab) OKI, Jumat (23/9/2022), Makmun menebar janji manis kepada masyarakat Pedamaran VI. Demi membangun desanya, ia berjanji akan merangkul seluruh elemen dalam menjalankan program-program kerjanya.
Sayang, selama roda pemerintahannya keterlibatan elemen desa yang janji bakal dirangkulnya, ternyata isapan jempol semata. Berbagai program pembangunan yang dirancangnya tidak melibatkan masyarakat. Alih-alih merangkul masyarakat, sang kades malah dituding telah melabrak aturan dan etika kesantunan. Imbasnya, lingkungan desa jauh dari kesan harmonis. Terjadi blok-blokan.
Memang banyak program yang diagendakan. Tapi, elemen masyarakat tidak dilibatkan, sehingga berbuah kekecewaan. Hingga akhirnya menjadi antipati. Sebut saja program ketahanan pangan yang mestinya bermusyawarah dan ada BAP, ternyata sang kades menjalankan sendiri program ini. Tidak ada tokoh masyarakat yang dilibatkan. Padahal, alokasi anggaran program ini mencapai ratusan juta.
Karena adanya protes, Kades menyanggupi membeli hewan ternak berupa sapi, yang dituangkan dalam surat pernyataan per tanggal 31 Desember tahun 2023. Meskipun hewan ternak tersebut baru terlaksana pada pada Januari 2024. Padahal, program tersebut seharusnya tuntas awal Desember 2023. Begitu juga bantuan BLT berupa beras. Desa yang mendapat alokasi lebih kurang 700 karung, hanya dialokasikan 10 karung per bulan, yang seharusnya 15 karung setiap bulannya.
Sikap dan langkah Kades Makmun ini menuai beragam komentar negatif dari berbagai kalangan. Seharusnya pelaksanaan kegiatan dan penggunaan dana desa dijalankan melalui proses yang telah diatur. Sebelum membuat program kegiatan yang menggunakan dana desa harus sesuai Peraturan Menteri Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) No 34 Tahun 2015 Pasal 3, yaitu melalui musyawarah desa.
Kegiatan penggunaan dana desa harus melalui proses musyawarah antara perwakilan masyarakat dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Setelah terjadi kesepakatan, dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). Selanjutnya harus dilaksanakan oleh kades. Nah, jika ada program kegiatan yang menggunakan dana desa, tanpa melalui musyawarah jelas melanggar perundangan yang berlaku.
Bahkan, jika merugikan keuangan negara, masuk ranah tindak pidana korupsi, Pasal 12 huruf (i) UU No 31 Tahun 1999 Junto No 20 Tahun 2001. Jika terbukti melakukan tindak pidana korupsi, Kades Makmun terancam Pasal 2 Juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No 20 Tahun 2021 dengan ancaman 20 tahun penjara.
Hanya saya, kritikan dari berbagai kalangan, termasuk media disambut negatif juga sang kades. Dia malah mencari pembenaran. Dia juga melaporkan media yang sudah menjalankan fungsi sosial kontrolnya. Praktisi hukum Dr (C) Dodi IK SH MED C PrM, sudah mengingatkan Kades Makmun, bahwa pemberitaan media tidak bisa dilakukan dengan melapor ke pihak berwajib. Langkah kades dinilai salah alamat.
Apa yang dikatakan Dodi, memang tepat. Jika terdapat pemberitaan tentang kinerjanya, seharusnya Kades Makmun menempuh dengan cara memberikan tanggapan ataupun sanggahan. Media menyediakan ruang untuk melakukan hak jawab di media yang sama.
Sementara itu, faktor yang biasanya membuat kepala desa terjebak dalam tindak pidana korupsi adalah karena tingginya biaya politik pada saat turun gelanggang pemilihan kepala desa.
Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat 601 perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelewenangan dana desa, sejak tahun 2012-2021. Dari jumlah tersebut, tidak kurang dari 686 orang kepala desa dan perangkat desa ditetapkan sebagai tersangka karena terjerembab dalam praktik korupsi.
Catatan ini sangat buruk bila merujuk pada tujuan dari digelontorkannya dana desa. Dana desa yang seharusnya dimanfaatkan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa justru menjadi bahan bancakan oleh oknum kepala desa yang memanfaatkan jabatannya.
Mengutip Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, korupsi adalah sebuah tindakan memperkaya diri dengan melawan hukum yang merugikan keuangan negara. Sementara pada Pasal 3 dijelaskan korupsi ialah menyalahgunakan wewenang jabatan publik untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Adapun faktor yang biasanya membuat kepala desa terjebak dalam tindak pidana korupsi adalah karena tingginya biaya politik pada saat pemilihan kepala desa. Akibatnya, setelah menjabat, kepala desa cenderung memanfaatkan dana desa yang jumlahnya sangat besar untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.
Sementara modus yang biasa digunakan untuk berkorupsi umumnya sangat sederhana. Misalnya, menggelembungkan anggaran, penggelapan kegiatan, dan proyek fiktif. Ironisnya, modus-modus ini seringkali tidak dimengerti oleh kepala desa dan perangkatnya bahwa kegiatan tersebut masuk ke dalam ranah tindak pidana korupsi.
Semoga Kades Pedamaran VI, Makmun Murod, tidak menambah daftar kades yang melakukan praktik korupsi. Jika benar dia menyalahgunakan wewenang jabatannya, maka siap-siap saja dirinya melawan kekuatan rakyat. Ya, rakyat Pedamaran VI yang selama ini mengembankan amanah di pundaknya. Rakyat siap melawan. Bahkan, menggelandangnya ke meja hukum. (*)
Komentar